Jumat, 01 September 2017

Alat pijat Interferential Therapi Tens EMS Health And Beauty Sumo

dari Akupresur Ny. Yuli Susianti - Jakarta, Jl. Gelong Baru Timur No.30, RT.5/RW.2, Tomang, Grogol petamburan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11440, Indonesia ke Enzi Rental - Sewa Kursi Pijat Dan Perlengkapan EO, Jl. Panca Warga 4, Cipinang Besar Sel., Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia 2 jam 46 mnt (13,4 km) melalui Jl. KH.Abd.Syafei Sebagian besar datar Hati-hati - mungkin ada kesalahan atau bagian yang tidak cocok untuk berjalan kaki Akupresur Ny. Yuli Susianti - Jakarta Jl. Gelong Baru Timur No.30, RT.5/RW.2, Tomang, Grogol petamburan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11440, Indonesia Pergilah ke tenggara di Jl. Gelong Baru Timurmenuju ke Jl. Gelong Baru Timur IV 180 m Belok kiri ke Jl. Gelong Baru 49 m Belok kanan ke Jl. Mandala Raya Lewati Pt. The Coll Indonesia (di kiri 47 m lagi) 220 m Belok kiri ke Jl. Tomang Raya Lewati Bank BTPN Tomang (di kanan) 41 m Belok tajam ke kiri setelah Central Restaurant Tomang (di sebelah kiri) Gunakan tangga 200 m Belok kanan setelah Wisma Lampung (di sebelah kanan) 1,0 km Belok kiri ke Jl. Kota Bambu Utara Raya Lewati Alfamart KBU2 (di kiri 270 m lagi) 650 m Belok kiri menuju Jl. Ks. Tubun Raya 81 m Belok tajam ke kiri menuju Jl. Ks. Tubun Raya 46 m Belok kiri menuju Jl. KS Tubun I 46 m Terus ke Jl. KS Tubun I Lewati Pusat Enjiniring Ketenagalistrikan (di kiri 23 m lagi) 180 m Belok kiri ke Jl. Aipda Ks. Tubun Raya Lewati Ps. Tanah Abang (di kiri 400 m lagi) 450 m Terus ke Jl. Jemb. Tinggi 150 m Belok kanan ke Jl. Jati Bunder 100 m Belok kiri ke Jl. Lontar Raya Lewati Kantor Lurah Kebon Melati - Jakarta Pusat (di kanan 23 m lagi) 170 m Terus lurus ke Jl. Lontar Lewati Alfamart Lontar Raya (di kiri 57 m lagi) 110 m Belok kanan ke Jl. Kh. Mas Mansyur Lewati Honda Tanabang Motor (di kanan 300 m lagi) 650 m Ambil jalur sebelah kanan dan tetap di Jl. Kh. Mas Mansyur Lewati Koperasi Pegawai Kantor Kementrian Agama Kota Administrasi Jakarta Pusat (di kanan 110 m lagi) 350 m Belok kiri ke Jl. R.M Margono Djojohadikoesoemo Lewati BNI Jakarta Pusat (di kanan 700 m lagi) 850 m Terus ke Jl. Galunggung Lewati PD PAL Jaya (di kanan 850 m lagi) 1,2 km Belok kanan menuju Jl. Sultan Agung 10 m Belok kiri ke Jl. Sultan Agung Lewati PT. Asuransi Jiwa Syariah Al Amin (di kanan 150 m lagi) 900 m Belok kanan ke Jl. Menteng Wadas Timur 750 m Terus ke Jl. Payakumbuh 140 m Belok sedikit ke kanan menuju Jl. Minangkabau Timur 110 m Terus ke Jl. Dr. Saharjo 32 m Belok kiri setelah Toba Tabo Lapo Batak (di sebelah kanan) 11 m Belok kanan ke Jl. Dr. Saharjo Lewati Masjid Baitur Rahman (di kanan 84 m lagi) 900 m Belok sedikit ke kiri menuju Jl. KH.Abd.Syafei Lewati BCA (di kiri 220 m lagi) 2,1 km Terus ke Jl. Jend. Basuki Rahmat 650 m Belok sedikit ke kanan menuju Jl. Basuki Rahmat/Jl. Jend. Basuki Rahmat (rambu Pondok Bambu/Buaran 600 m Ambil jalur sebelah kanan dan tetap di Jl. Basuki Rahmat/Jl. Jend. Basuki Rahmat Tujuan ada di sebelah kiri. 450 m Enzi Rental - Sewa Kursi Pijat Dan Perlengkapan EO Jl. Panca Warga 4, Cipinang Besar Sel., Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia Petunjuk arah ini hanya untuk perencanaan. Anda mungkin menemukan bahwa proyek konstruksi, lalu lintas, cuaca, atau kejadian lain dapat menyebabkan kondisinya berbeda dari hasil peta, maka sesuaikan rute. Patuhi semua rambu atau pemberitahuan mengenai rute Anda. Berikut ini adalah versi HTML dari file https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/article/view/8436/6294. G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web. Page 1 1 PEMBERIAN TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS) DAPAT MENINGKATKAN KETAJAMAN VISUAL PADA KONDISI KELELAHAN MATA 1) Arga Khariyono, 2) Muhammad Irfan, 3) I Made Niko Winaya 1. Mahasiswa Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar 2. Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul Jakarta 3. Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar arga.khariyono@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh pemberian TENS terhadap peningkatan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar selama kurun waktu bulan Juli – Agustus 2013. Secara keseluruhan sampel berjumlah 15 orang yang memenuhi kriteria inklusif untuk dilibatkan dalam studi eksperimental satu kelompok perlakuan (pre test – post test one group). Aplikasi TENS dengan frekuensi rendah (20 Hz), burst mode, durasi 30 menit, diberikan selama 6 sesi dalam 6 hari berturut – turut. Elektroda positif di dekat telinga, dan elektroda negatif ditempat sepanjang perjalanan saraf, yakni di sebelah lateral mata. Ukuran elektroda yang digunakan adalah 2,5 cm berbentuk bulat. Evaluasi pengukuran ketajaman visual menggunakan Snellen Chart. Pada pengujian hipotesis untuk mengetahui perbedaan ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan, dilakukan uji beda rerata Paired Samples t-test. Hasilnya didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan. Nilai rerata ketajaman visual sebelum perlakuan adalah 18.40 letter, sedangkan nilai rerata sesudah perlakuan adalah 30.40 letter. Hal tersebut berarti bahwa TENS memberikan peningkatan yang bermakna terhadap ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata. Pemberian TENS dapat meningkatkan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata. Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : TENS, ketajaman visual, kelelahan mata Giving Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Can Improve Visual Acuity In Eye Strain Condition ABSTRACT This study aimed to determine the effect of TENS on visual acuity improvement in the condition of eye strain. The experiment was conducted on students of Visual Communication Design Indonesian Arts Institute Denpasar during the period July - August 2013. Page 2 2 Overall sample was 15 people who meet the criteria for an inclusive to be involved in the experimental study one treatment group (pre test - post test one group). TENS applications with low frequency (20 Hz), burst mode, duration 30 minutes, given for 6 sessions in 6 days straight - participated. Positive electrode at the ear, and negative electrodes in place throughout the course of the nerve, which is on the lateral eyes. Electrode size used was 2.5 cm round. Evaluation of measurement of visual acuity using the Snellen Chart. On hypothesis testing to determine differences in visual acuity before and after treatment, performed Paired Samples t-test. The result shows the value of p = 0.000 (p <0.005) which means that there are significant differences in the mean visual acuity before and after treatment. The mean visual acuity before treatment was 18.40 letter, whereas the mean value after treatment was 30.40 letter. This means that TENS provides a significantly increased visual acuity in the eye strain conditions. Giving TENS can improve visual acuity in eyes strain conditions. It can be concluded that the hypothesis is accepted. Keywords : TENS, visual acuity, eye strain PENDAHULUAN Otot teraktif di tubuh bukanlah otot pada kaki, lengan, atau punggung, melainkan otot mata (Zapino, 2011). Diperkirakan rata - rata dalam satu hari mata bergerak sekitar 100.000 kali untuk memfokuskan dan mempertajam penglihatan. Untuk ukuran beban pekerjaan yang sama bagi otot kaki, seseorang perlu berjalan sepanjang kurang lebih 75 kilometer (Hutapea, 2005). Namun banyak masyarakat yang kurang memperhatikan kesehatan mata seiiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tubuh manusia tidak dirancang untuk statis dalam waktu lama. Tetap berada dalam satu posisi selama berjam - jam adalah gejala yang relatif baru dalam sejarah manusia. Revolusi elektronik menunjukkan bertambahnya jumlah orang yang harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan duduk diam, bekerja dengan komputer, dan masalah yang mengikutinya juga semakin bertambah (Anderson, 2010). Bausch dan Lomb melaporkan bahwa hampir 60 juta orang menderita masalah mata atau penglihatan karena pekerjaan yang menggunakan komputer (Affandi, 2005). Secara luas memang dikenal beberapa gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pemakaian komputer, diantaranya adalah kelelahan mata. Banyak istilah lain dari kelelahan mata, yaitu asthenopia, eye strain, dan computer vision syndrome. Kelelahan mata adalah stres yang terjadi pada fungsi penglihatan. Stres atau spasme pada otot akomodasi mata terjadi pada saat seseorang berupaya untuk melihat pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama (Ilyas, 2008). Perlu diketahui bahwa kelelahan mata dapat juga memicu terjadinya kelainan refraksi seperti miopia (mata minus), hipermetropia (mata plus), astigmat (mata silinder). Tak dapat dipungkiri konsentrasi atau usaha memfokuskan penglihatan dalam periode panjang, membuat otot - otot yang berpartisipasi menjadi menegang, mengeras dan kehilangan kelenturannya sehingga ketajaman visual menjadi berkurang (Oktavianto, 2010). Page 3 3 TENS dengan mekanismenya dapat diberikan dalam upaya penanganan masalah tersebut. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) merupakan suatu cara penggunaan elektroterapeutik untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. Menurut Vrbova et al. (2008), TENS dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu High TENS – Gate TENS dan Low TENS – Endhorphine TENS. Selama ini TENS dikenal sebagai modalitas yang efektif mengurangi nyeri. Namun demikian, efek TENS tidak hanya terbatas pada mengurangi nyeri saja. Dengan frekuensi dan intensitas yang tepat, TENS dapat memberikan stimulasi dari mulai tingkat seluler sampai dengan ke tingkat sistemik. Kelelahan mata adalah sebuah contoh nyata gangguan sistemik penglihatan akibat dari hubungan yang tidak harmonis antara manusia, aktivitas, dan lingkungannya. Penelitian mengenai kelelahan mata di Indonesia belum banyak dilakukan oleh fisioterapi. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian TENS terhadap peningkatan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental dengan pre test-post test one group design. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Karena kompetensinya menuntut keahlian dalam bidang desain menggunakan komputer, hal ini membuat populasi tersebut rentan untuk mengalami kondisi kelelahan mata. Penentuan besar sampel menggunakan teknik accidental atau consecutive sampling. Semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian selama rentang waktu yang ditentukan (Sastroasmoro, 2010). Kriteria inklusif : mengeluhkan adanya minimal 3 gejala dari 4 gejala utama, yakni mata lelah atau tegang, mata kering teriritasi, penglihatan kabur, dan nyeri kepala. Kriteria eksklusi : memiliki kondisi kontraindikasi terhadap pemberian perlakuan. Secara keseluruhan sampel berjumlah 15 orang yang memenuhi kriteria untuk dilibatkan dalam penelitian. Jenis aplikasi TENS yang dipilih adalah Low TENS – Endorphine TENS, dengan frekuensi 20 hz, burst mode, durasi 30 menit, dan intensitas sesuai toleransi. Perlakuan diberikan selama 6 sesi dalam 6 hari berturut – turut. Elektroda dipasang bilateral pada kedua mata. Elektroda positif di dekat telinga, dan elektroda negatif di tempat sepanjang perjalanan saraf, yakni di sebelah lateral mata. Ukuran elektroda yang digunakan adalah 2,5 cm berbentuk bulat. Evaluasi pengukuran ketajaman visual menggunakan Snellen Chart. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit TENS, Snellen Chart, bantal, meteran, jam tangan, alat tulis dan dokumentasi Gambar 1 Aplikasi TENS Sumber : dokumen pribadi Page 4 4 Gambar 2 Snellen Chart Sumber : dokumen pribadi Teknik Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk mendeskriptifkan data yang dikumpulkan melalui sampel yang diobservasi. Analisis deskriptif dilakukan pada karakteristik sampel, seperti : umur, jenis kelamin, penggunaan kacamata, dan intensitas TENS 2. Analisis Bivariat Analisa bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel. Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan program SPSS 16. Untuk menentukan uji hipotesis yang akan digunakan, maka memerlukan hasil uji persyaratan analisis berupa uji normalitas dan homogenitas. a. Uji normalitas yang digunakan adalah Shapiro-Wilk test, karena besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 15 orang (< 30). b. Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Levene’s test c. Uji hipotesis disesuaikan dengan hasil uji persyaratan analisis. Karena data dinyatakan berdistribusi normal, maka uji hipotesis menggunakan Paired Samples t-test. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Karakteristik Sampel Tabel 1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin Frekuensi Persen (%) Jenis kelamin Laki-laki 11 73.3 Perempuan 4 26.7 Total 15 100 Tabel 2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur Frekuensi Persen (%) Umur 21 4 26.7 22 4 26.7 23 Total 7 15 46.7 100 Perbedaan fisiologis antara laki - laki dan perempuan antara lain adalah sekresi air mata, perbedaan ukuran massa tubuh, fungsi hormon, serta tingkat stres. Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa kejadian kelelahan mata pada perempuan lebih banyak dari pada laki - laki, namun demikian tidak berbeda secara bermakna (Azkadina, 2010). Hal ini karena faktor tersebut juga berkaitan dengan bertambahnya umur. Daya akomodasi mata menurun pada umur 40 - 50 tahun (Nurmianto, 2008). Dalam penelitian ini, sampel memiliki umur berkisar antara 21 - 23 tahun yang termasuk kategori muda. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam penelitian ini, jenis kelamin dan umur bukanlah salah satu pertimbangan yang mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian serta tidak memiliki kecenderungan tertentu. Page 5 5 Tabel 3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Penggunaan Kacamata Frekuensi Persen (%) Penggunaan Kacamata Tidak 8 53.3 Ya 7 46.7 Total 15 100 Penelitian dilakukan oleh Edema (2010), untuk mengetahui kejadian asthenopia pada pengguna komputer yang menggunakan kacamata. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengguna komputer yang memakai kacamata dengan kejadian kelelahan mata dibandingkan dengan pengguna komputer yang tidak memakai kacamata. Kacamata digunakan untuk mengoreksi kelainan refraksi. Namun koreksi yang tidak tepat merupakan salah satu resiko terjadinya mata lelah. Tabel 4 Karakteristik Sampel Berdasarkan Intensitas TENS Karakteristik Nilai Rerata dan Simpangan Baku Intensitas 1 Intensitas 6 Intensitas TENS 19.93±2.086 21.60±2.694 Pemberian intensitas TENS pada sesi awal sampai sesi akhir memiliki rerata antara 19.93 mA - 21.60 mA. TENS hanya efektif ketika pasien merasakan adanya stimulus, sehingga intensitas perlu dimodifikasi apabila pasien tidak merasakan stimulus lagi. Jaringan tubuh termasuk saraf bila menerima rangsang akan menyesuaikan diri sehingga bangkitan impuls menjadi lebih kecil atau terhenti sama sekali (reaksi akomodasi stimulus). Untuk menghindari terjadinya reaksi akomodasi yang berujung pada kurang berhasilnya tujuan stimulus, maka amplitudo atau intensitas arus dapat diubah - ubah (Parjoto, 2006). Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam menentukan dosis intensitas pemberian TENS pada kondisi kelelahan mata. Pengujian Hipotesis Pada pengujian hipotesis untuk mengetahui nilai ketajaman visual, dilakukan uji beda rerata Paired Samples t-test. Hasilnya didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan. Nilai rerata ketajaman visual sebelum perlakuan adalah 18.40 letter, sedangkan sesudah perlakuan adalah 30.40 letter, atau meningkat dengan persentase sebesar 65,2 %. Tabel 5 Hasil Paired Samples t-test SIMPULAN DAN SARAN Hal ini sejalan dengan penelitian studi stimulasi elektris yang dilakukan pada 20 responden dengan penglihatan normal bekerja sama dengan Pusat Pelatihan Kosmonot Gagarin. Hasil penelitian menyimpulkan metode dan perangkat stimulasi elektris efektif untuk asthenopia dalam mengurangi ketegangan mata, pencegahan penyakit pada orang yang bekerja sebagai operator (bekerja dengan komputer sepanjang hari), dan pekerja di fasilitas dengan resiko ketegangan mata tinggi. Page 6 6 Metode ini tidak hanya dapat digunakan pada kondisi patologis. Akan tetapi juga untuk mengkoreksi status fungsional dari sistem visual pada kondisi normal, dalam rangka meningkatkan kualitas penglihatan selama pekerjaan yang berkaitan dengan beban kerja visual yang besar. Fakta- fakta ini membuka kemungkinan baru untuk pencegahan asthenopia (kelelahan mata). Penggunaan stimulasi elektris dalam kombinasi dengan obat dan fisioterapi secara relevan mengarah ke efek yang positif (Kompaneets, 2003). Untuk melihat dekat dan dalam jangka waktu yang lama, diperlukan usaha yang besar dari otot siliaris Hal ini menempatkan otot siliaris berada dalam suatu keadaan stres atau spasme. Spasme adalah ketegangan otot sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi lokal dan perubahan metabolik yang terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi terus - menerus. Spasme menyebabkan gangguan vaskularisasi yang memberi makanan pada retina. Retina adalah tempat cahaya difokuskan, maka cahaya yang masuk melalui lensa mata tersebut akan membentuk bayangan kabur. Gambar bayangan kabur itulah yang akan dikirim ke otak, sehingga tidak dapat diterjemahkan dengan sempurna, dan ketajaman visual menjadi menurun. Kondisi ini akan diperburuk lagi dengan adanya iskemia lokal pada otot ekstraokuler. Otot - otot ekstraokuler mata memiliki karakteristik unik karena serabut ototnya merupakan dari tipe slow twitch dan fast twitch. Otot ekstraokuler mata memiliki dua fungsi : optostatik untuk mempertahankan keadaan tonus postural otot dan optokinetik untuk melakukan gerakan kontraksi yang cepat. Kedua fungsi yang berbeda ini biasanya dilakukan oleh dua serabut otot yang berbeda dalam sistem otot rangka. Akan tetapi, serabut otot ekstraokuler mata melakukan kedua fungsi tersebut sekaligus. Rehms menyatakan bahwa otot mata membutuhkan dan menerima lebih banyak oksigen daripada otot rangka lainnya (Noorden dan Campos, 2002). Mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai akibat dari disregulasi sistem simpatik berkurang sehingga menyebabkan terjadinya kelelahan. Manifestasi dari kelelahan tersebut adalah kurangnya suplai nutrisi dan oksigen ke organ, yang dalam hal ini adalah otak dan mata. Kurangnya suplai darah ke otak menyebabkan rasa sakit pada kepala, serta terjadi ketidakmampuan otot mata untuk berkontraksi dan bermetabolisme karena dalam serabut otot kekurangan nutrisi dan oksigen (Guyton, 2008). Mekanisme pemberian TENS dapat menimbulkan tanggap rangsang fisiologis. Eksitasi sel saraf tepi akan menstimulasi vasodilatator pembuluh darah perifer sehingga akan terjadi perbaikan sistem vaskularisasi. Hal ini dapat meningkatkan aliran darah secara tidak langsung ke jaringan otot yang mengalami gangguan. Selain itu efek pumping action pada TENS akan merangsang endorphine-dependent system yang memicu diproduksinya endorfin oleh tubuh sehingga meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi rasa sakit, serta mengurangi stres. Kita terkadang menganggap sepele dan mengabaikan ketika mata terasa lelah. Tidur saat mengalami kelelahan mata akan membantu mengistirahatkan mata, akan tetapi hal tersebut akan sulit dilakukan apabila masih dalam waktu aktif kerja. Selain itu tidak adanya upaya penanganan pada sumber masalah yang terjadi. Page 7 7 Jika terakumulasi akan muncul efek samping yang tidak terelakkan. Tidak hanya materi, tetapi juga benturan terbesar efek sosial yang diakibatkan oleh keadaan tersebut. Seperti nilai kualitas kehidupan menjadi berkurang dikarenakan kerja fungsi penglihatan harus dibantu dengan kacamata atau bahkan gangguan yang lebih lanjut. Apabila kondisi seperti diatas dibiarkan berlarut juga, maka kualitas kerja akan menjadi berkurang, banyak terjadi kesalahan kerja, bahkan meningkatkan kecelakaan kerja. Perkembangan saat ini memungkinkan manusia untuk lebih sering menggunakan teknologi dalam kehidupannya, sehingga dapat dikatakan penggunaan komputer akan meningkat seiring berjalannya waktu. Hal tersebut dapat meningkatkan insidensi kelelahan mata, terutama jika faktor resiko yang ada tidak dideteksi dan dicegah lebih awal. Dengan kata lain diperlukan manajemen penangananan untuk mengantisipasi timbulnya resiko tersebut, termasuk yang memiliki peranan strategis salah satunya adalah fisioterapi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : “Pemberian TENS dapat meningkatkan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata”. Saran 1. Sampel diberikan edukasi mengenai hasil penelitian yang dapat dijadikan masukan guna meningkatkan derajat kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas sebagai sumber daya manusia. 2. Untuk pengembangan penelitian selanjutnya dapat dilakukan pemilihan sampel dengan karakteristik yang berbeda, misalnya variasi umur (anak-anak, dewasa, lanjut usia), tipe aktivitas (membaca, menonton, menjahit), dsb. Penentuan besar sampel dan instrumen pengukuran kelelahan mata juga dapat menggunakan pilihan metode yang lain. 3. Dibutuhkan jalinan komunikasi dan koordinasi yang baik dengan manajemen profesional kesehatan lain, utamanya dokter spesialis mata (oftalmologis). Dengan demikian dapat tercapai hasil yang bisa dipertanggungjawabkan, kompeten, etis, dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA 1. Zapino, Tomi. 2011. 350 Pertanyaan Terpopuler Seputar Biologi Untuk Pelajar Dan Guru. Andi Publisher : Yogyakarta 2. Hutapea, Albert M. 2005. Keajaiban - Keajaiban Dalam Tubuh Manusia. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta 3. Anderson, Bob. 2010. Stretching in The Office. PT Serambi Ilmu Semesta : Jakarta 4. Affandi, Edi S. 2005. Sindrom Penglihatan Komputer. Majalah Kedokteran Indonesia. Jakarta; 55(3): 297-300 5. Oktavianto, Denny. 2010. Mata Perlu Istirahat Juga. Opini Kompasiana. Diunduh dari : www. kesehatan.kompasiana.com/medis/20 10/12/07/mata-perlu-istirahat-juga- 323715.html 6. Vrbová, Gerta; Hudlicka, Olga; SC, Kristin. 2008. Application of Muscle Nerve Stimulation in Health and Disease. JKC Research Partnership, London, UK; Springer Science+ Business Media B.V Page 8 8 7. Sastroasmoro, Sudigdo. 2010. Dasar - Dasar Metodologi Penelitian Klinis. CV Sagung Seto : Jakarta 8. Azkadina, Amira. 2010. Hubungan Antara Faktor Resiko Individual dan Komputer Terhadap Kejadian Computer Vision Syndrome. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Univeritas Diponegoro 9. Nurmianto, Eko. 2008. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Cetakan Kedua 10. Edema OT, Akwukwuma VVN. Asthenopia and Use of Glasses Among Video Display Terminal (VDT) Users. Ind J Trop Med. 2010; 5(2): 16-19 11. Parjoto, Slamet. 2006. Terapi Listrik Untuk Modulasi Nyeri. Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Semarang 12. Kompaneets, EB. 2003. Results of The Application of The Method of Transcutaneous Electrostimulation of The Visual System in Ophthalmology. A.B. Kogan Research Institute Of Neurocybernetics, Rostov State University, Rostov-on-Don, Russia 13. Noorden, Gunter K. von MD, Campos, Emilio C. MD. 2002. Binocular Vision and Ocular Motility Theory and Management of Strasbismus. Mosby, Inc. A Harcourt Health Sciences Company. United States of America. 14. Guyton, AC, Hall, JE. 2008. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed. Philadelphia, United States of America; Elsevier Saunders Berikut ini adalah versi HTML dari file http://unhas.ac.id/tahir/BAHAN-KULIAH/BIO-MEDICAL/TUGAS/Biomedik-Jan2011/Hadijah_d41107037_TENS/TENS_d41107037.ppt. G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web. Oleh: Hadijah Putra Djaya D411 07 037 JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2011 PENDAHULUAN Sejarah munculnya TENS berawal dari laporan Scribonius Largus tentang stimulasi listrik untuk mengontrol nyeri yang digunakan di Yunani kuno, 63 M. Hal ini dilaporkan oleh Scribonius Largus yang sakit dan merasa lega setelah berdiri pada ikan listrik di tepi pantai. Pada 16 sampai abad ke-18 berbagai perangkat elektrostatik digunakan untuk sakit kepala dan nyeri. Benjamin Franklin adalah pendukung metode ini untuk menghilangkan rasa sakit. PENDAHULUAN Pada abad kesembilan belas perangkat yang disebut electreat, bersama dengan perangkat lain yang banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri dan penyembuhan kanker. Electreat digunakan hanya sampai pada ke abad kedua puluh karena tidak portabel dan memiliki kontrol terbatas dari stimulus tersebut. Pengembangan dari semua stimulasi listrik tersebut memberi ide dibentuknya TENS yang akhirnya dipakai dan telah dipatenkan di Amerika Serikat pada tahun 1974. PENDAHULUAN TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS) merupakan salah satu alat terapi yang menggunakan arus listrik untuk merangsang saraf dengan tujuan mengurangi rasa sakit. Alat ini biasanya dilengkapi dengan sepasang elektroda. Kesalahan penempatan elektroda memungkinkan elektroda tidak melekat dengan baik pada kulit dan sementara itu arus yang dialirkan, dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION RANGKAIAN DALAM Rangkaian sederhana menggunakan CMOS 555 timer untuk menghasilkan pulsa singkat yang feed transformator miniatur 1:10. Bersama dengan 4,7 nF kapasitor transformator membuat rangkaian resonansi paralel: resonansi mengarah ke peningkatan yang cukup besar dalam tegangan output. Lebar pulsa dapat disesuaikan dengan menggunakan potensiometer, di sini ditunjukkan dikombinasikan dengan switch on-off. Pulsa lebih luas menghasilkan tegangan output yang lebih tinggi. Karena tegangan puncak hingga 200 V dapat diproduksi, trafo harus memiliki isolasi yang memadai: Conrad Electronics 516260-62 jenis cocok. Sebuah phono soket di output memberikan sambungan yang andal untuk kabel elektroda. CARA KERJA SECARA UMUM Umumnya TENS diterapkan pada: Frekuensi tinggi (> 50 Hz). Pada frekuensi tinggi, secara selektif merangsang syaraf tertentu 'non-sakit' serat untuk mengirim sinyal ke otak yang menghalangi sinyal saraf lainnya membawa pesan rasa sakit. Frekuensi rendah (<10 Hz). Pada frekuensi rendah, dengan merangsang produksi endorfin, alami menghilangkan rasa sakit-hormon. MANFAAT/KEGUNAAN TENS biasa digunakan untuk meringankan rasa sakit yang disebabkan antara lain: Patah Tulang, Nyeri Sendi, Sakit Kepala/Migrain, Sakit Pinggang, Leher dan Punggung Nyeri, dll KEKURANGAN DAN KELEBIHAN Keuntungan dari menggunakan TENS adalah bahwa tidak seperti menghilangkan rasa sakit oleh obat, karena tidak menimbulkan ketagihan, tidak menyebabkan kantuk atau mual, dan dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan. Namun penggunaan alat terapi TENS saat ini pada umumnya tidak praktis karena diperlukan keterampilan dan pengetahuan khusus untuk menyesuaikan program yang ada pada alat terapi TENS dengan keluhan dan jenis terapi yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA http://en.wikipedia.org/wiki/Transcutaneous_electrical_nerve_stimulation http://www.extremecircuits.net/2010/06/transcutaneous-electrical-nerve_03.html http://remizapratama.blogspot.com/2011/01/alat-alat-yang-digunakan-pada.html http://yutrithanaya.blogspot.com/2010_12_01_archive.html http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:a60d5reh6NkJ:www.fik.ui.ac.id/pkko/files/Tugas%2520UTS%2520SIM.pdf+teori+Melzack+dan+Wall's&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShn9vm6-hyrkbAlrpIfmY-iSZcdvfzntKPU10xCLzVnwJcswWD0Kt6doIc-_Y7f0467hGaf0PugKfjFE08y05g5EgEfhDlQx6jADZNk_hHunjKCe00S3Kd8HrEZismcB5jXUaBK&sig=AHIEtbS637VLZnboinTry7qB0KDC-VXA8w http://www.google.com/books?hl=id&lr=&id=aJEmA8HmTCEC&oi=fnd&pg=PA241&dq=PRINCIPLE+OF+Transcutaneous+Electrical+Nerve+Stimulation&ots=P4jhMhIk3G&sig=JlK9tcLBhXi_IpIZJv_s66GNcgs#v=onepage&q&f=false TERIMA KASIH Sumber daya pendidikan bagi praktisi, pelajar dan pendidik Rumah Modalitas Isu Elektroterapi Umum Konsep Kunci dalam Elektroterapi Modalitas Elektroterapi Utama Terapi Interferensial Ultrasound Terapi Ultrasound USG untuk Penyembuhan Fraktur: Intensitas Rendah Pulsed Ultrasound - LIPUS Perhitungan Dosis Ultrasound Agen Gels dan Coupling Ultrasound Longwave (Kilohertz) Terapi Ultrasonografi Ultrasuara dalam Pengobatan Apomorphine Nodules Stimulasi Saraf Listrik Transkutaneous (TENS) Terapi Laser Terapi Gelombang Pendek berdenyut Modalitas elektroterapi lainnya Iontophoresis Terapi Shockwave H Wave Therapy® Biofeedback Terapi Kombinasi Terapi Diadynamic Stimulasi Listrik untuk Penyembuhan Luka Arus Tegas Tegangan Tinggi (HVPC) Terapi Magnetik Terapi Mikrokontroler Stimulasi Rusia dan Mode Burst Alternating Current (BMAC) Perbaikan Tissue Perbaikan Tissue dan Perbaikan Lembut NSAID's dan Repair Download Kursus & acara Kursus Acara Publikasi Kontraindikasi FAQs Buku Tautan Produsen Tautan Umum Kontak Submit Terhubung-in kericau RUMAH MODALITAS MODALITAS ELEKTROTERAPI UTAMA TERAPI INTERFERENSIAL kericau Informasi di halaman ini diberikan dengan itikad baik dan harus diperlakukan seperti itu. Jika Anda menggunakan informasi tersebut, mohon informasikan sumbernya. Masyarakat Internasional untuk Agen Elektrofisika dalam Terapi Fisik (ISEAPT) adalah subkelompok formal dari Terapi Fisik Kongres Dunia (WCPT) dan merupakan organisasi internasional terkemuka yang terutama terkait dengan Agen Fisik Elektro Iseapt iseapt di twitter iseapt di facebook Electro Physical Agents dan Diagnostic Ultrasound (EPADU) group adalah Jaringan Profesional dari Chartered Society of Fysiotherapy yang berbasis di Inggris . Terapi Interferensial pengantar Prinsip Frekuensi Sapu Efek Fisiologis & Aplikasi Klinis Aplikasi Klinis Lainnya Referensi Kontraindikasi Interferensial Interferential Precautions Catatan Pengobatan Interferensial VERSI PDF DARI INFORMASI INTERFERENSIAL TELAH DIBUAT (JUNI 2015) BERDASARKAN LEBIH LANJUT UNTUK TANGGAL DARI INFORMASI PADA HALAMAN INI. AKU AKAN MEMBERIKAN INFORMASI DI SINI SEPERTI MUNGKIN. DI MEANTIME, KEPALA UNTUK FILE pdf PADA HARTA DOWNLOAD pengantar Prinsip dasar Interferential Therapy (IFT) adalah untuk memanfaatkan efek fisiologis yang signifikan dari stimulasi listrik frekuensi rendah ( 50Hz. Meskipun kedua mekanisme terakhir ini telah diusulkan (secara teoritis) dengan IFT, keduanya tidak ditunjukkan secara kategoris. Sejumlah studi baru-baru ini (misalnya Hurley et al 2004, Johnson dan Tabasam 2003, Walker et al 2006, McManus et al 2006, Jorge et al 2006, Gundog et al 2012, Rocha 2012, Atamaz et al 2012) memberikan bukti substantif untuk sebuah efek penghilang rasa sakit dari IFT. Stimulasi otot: Stimulasi saraf motorik dapat dicapai dengan berbagai macam frekuensi. Jelas, stimulasi pada frekuensi rendah (misalnya 1Hz) akan menghasilkan serangkaian kedutan, rangsangan di 50Hz akan menghasilkan kontraksi tetanik. Ada bukti terbatas saat ini untuk efek 'penguatan' IFT (walaupun bukti ini ada untuk beberapa bentuk stimulasi listrik lainnya), walaupun makalah oleh Bircan dkk (2002) menunjukkan bahwa ini mungkin sebuah kemungkinan. Berdasarkan bukti saat ini, kontraksi yang ditimbulkan oleh IFT tidak 'lebih baik' daripada yang bisa dicapai dengan olahraga aktif, walaupun ada keadaan klinis dimana kontraksi dibantu bermanfaat. Misalnya untuk membantu pasien untuk menghargai kerja otot yang dibutuhkan (mirip dengan melonjak yang digunakan Faradism sebelumnya - tapi jauh lebih tidak nyaman). Bagi pasien yang tidak dapat menghasilkan kontraksi sukarela yang bermanfaat, IFT mungkin bermanfaat bagi mereka yang, karena alasan apapun, merasa sulit berolahraga. Tidak ada bukti yang menunjukkan manfaat yang signifikan dari IFT selama latihan aktif. Bellew et al (2012) mengevaluasi efek stimulasi IFT dan berbagai arus mode burst dalam hal kapasitas mereka untuk menghasilkan kontraksi otot kualitas yang signifikan, hasilnya mendukung IFT sebagai pilihan pengobatan. Pilihan parameter perawatan akan tergantung pada efek yang diinginkan. Rangsangan syaraf motorik yang paling efektif dengan IFT tampak terletak antara kira-kira 10 dan 20, mungkin 10 dan 25Hz. Stimulasi di bawah 10Hz menghasilkan serangkaian kejengkelan kasar yang mungkin bermanfaat secara klinis, walaupun belum terbukti dengan IFT. Stimulasi pada frekuensi yang lebih tinggi daripada yang dibutuhkan untuk menghasilkan tetani parsial (biasanya sekitar 20 atau 25Hz) dapat menghasilkan kontraksi tetanik yang kuat, yang mungkin dianggap bermanfaat untuk membantu apresiasi pasien terhadap kerja otot yang dibutuhkan, namun sekali lagi, dalam hal intervensi IFT , belum ditunjukkan bahwa tingkat kontraksi ini dibutuhkan di atas dan di atas tetany parsial. Perhatian harus dilakukan saat menggunakan IFT sebagai alat untuk menghasilkan tingkat klinis kontraksi otot sehingga otot akan terus bekerja selama periode stimulasi (dengan asumsi kekuatan arus yang cukup saat ini diterapkan). Hal ini dimungkinkan untuk terus merangsang otot di luar titik kelelahan - kontraksi dipaksa melalui saraf motorik - dan periode stimulasi pendek dengan istirahat yang cukup mungkin merupakan pilihan yang lebih baik. Beberapa perangkat IFT mampu menghasilkan mode stimulasi 'melonjak' yang mungkin menguntungkan dalam kelelahan itu akan diminimalkan - intervensi melonjak ini akan serupa, namun lebih nyaman dari pada Faradism. Link: Kembali ke Atas Aliran darah Ada sangat sedikit, jika ada bukti kualitas yang menunjukkan efek langsung jika IFT mengenai aliran darah lokal berubah. Sebagian besar pekerjaan yang telah dilakukan melibatkan eksperimen laboratorium pada subyek tanpa gejala, dan sebagian besar pengukuran aliran darah bersifat dangkal yaitu aliran darah kulit. Apakah IFT sebenarnya mampu menghasilkan perubahan (kenaikan) aliran darah pada kedalaman tetap dipertanyakan. Eksperimen yang elegan oleh Noble dkk (2000) menunjukkan perubahan vaskular pada 10-20Hz, meskipun tidak dapat secara jelas mengidentifikasi mekanisme untuk perubahan ini. Stimulasi diaplikasikan melalui elektroda suction, dan hasilnya bisa jadi sebagai hasil hisap daripada stimulasi, meskipun hal ini sebagian besar dinegasikan berdasarkan fakta bahwa frekuensi stimulasi lainnya juga diberikan dengan elektroda hisap tanpa aliran darah. perubahan. Mekanisme yang paling mungkin terjadi adalah melalui efek stimulasi otot (IFT menyebabkan kontraksi otot yang menyebabkan metabolisme lokal dan juga perubahan vaskular). Kemungkinan bahwa IFT bertindak sebagai penghambat atau aktivitas simpati tetap merupakan kemungkinan teoretis daripada mekanisme yang mapan. Berdasarkan bukti yang ada saat ini, pilihan yang paling mungkin untuk penggunaan IFT sebagai sarana untuk meningkatkan aliran darah lokal tetap melalui mode stimulasi otot, dan dengan demikian opsi sweep frekuensi gelombang 10-20 atau 10-25Hz tampaknya merupakan pilihan yang paling mungkin menguntungkan. Busung IFT telah diklaim efektif sebagai pengobatan untuk mempromosikan reabsorpsi edema pada jaringan. Sekali lagi, buktinya sangat terbatas dalam hal ini dan mekanisme fisiologis yang dapat dicapai sebagai efek langsung dari IFT tetap harus ditetapkan. Pilihan klinis yang lebih disukai berdasarkan bukti yang ada adalah menggunakan IFT untuk menghasilkan kontraksi otot lokal yang dikombinasikan dengan perubahan vaskular lokal yang akan terjadi (lihat di atas) dapat efektif dalam mendorong reabsorpsi cairan jaringan. Penggunaan elektroda hisap mungkin bermanfaat, namun juga tetap tidak terbukti dalam hal ini. Sebuah studi oleh Jarit dkk (2003) menunjukkan perubahan edema setelah operasi lutut pada kelompok IFT, meskipun pasien melakukan pengukuran lutut melingkar (bukan terapis) dan pengukuran lutut melingkar bukanlah metode yang sangat andal untuk mengidentifikasi edema sebagai seperti itu. Studi Christie dan Willoughby (1990) gagal menunjukkan manfaat signifikan pada edema pergelangan kaki setelah fraktur dan operasi. Parameter perawatan yang digunakan tidak mungkin efektif karena informasi yang ada sekarang tersedia. Jika IFT memiliki kemampuan untuk mempengaruhi edema, bukti dan pengetahuan fisiologis saat ini menunjukkan bahwa kombinasi rasa sakit (gerakan yang lebih banyak), rangsangan otot (di atas) dan peningkatan aliran darah lokal (di atas) adalah kombinasi yang paling mungkin terjadi. efektif. Aplikasi Klinis Lainnya Selain 4 bidang utama yang diidentifikasi di atas, ada beberapa aplikasi khusus lainnya yang telah digunakan oleh IFT. Ini termasuk stimulasi sebagai bagian dari pengelolaan latihan inkontinensia dan pelvis (misalnya Parkkinen et al, 2004), sembelit pada anak-anak (Chase et al, 2005, Queratto et al 2013, Yik et al 2012), Fibromyalgia (Almedia et al, 2003; Raimundo et al, 2004) dan intervensi titik pemicu (Hou, 2002; Jenson et al, 2002). Peningkatan penyembuhan fraktur juga telah diselidiki dengan hasil yang beragam (misalnya Ganne, 1988) Parameter Pengobatan: Stimulasi dapat diaplikasikan dengan menggunakan elektroda pad dan penutup spons (yang bila basah memberikan jalur konduktif yang masuk akal), meskipun gel elektrokonduktif merupakan alternatif yang efektif. Spons harus benar-benar basah untuk memastikan distribusi saat ini. Self adhesive pad electrodes juga tersedia (serupa dengan elektroda TENS yang lebih baru) dan membuat aplikasi IFT lebih mudah dilihat dari banyak praktisi. Metode aplikasi elektroda suction telah digunakan selama beberapa tahun, dan sementara itu berguna, terutama untuk area bodi yang lebih besar seperti korset bahu, batang tubuh, pinggul, lutut, tampaknya tidak memberikan keuntungan terapeutik apapun pada elektroda pad (pada lainnya kata-kata, komponen isap pengobatan tampaknya tidak memiliki efek terapeutik terukur). Perhatian harus diberikan sehubungan dengan pemeliharaan elektroda, penutup elektroda dan risiko infeksi terkait (Lambert et al 2000). IFT pad elektrodaIFT perekat elektrodaIFT vakum elektroda Apapun sistem elektroda yang digunakan, posisi elektroda harus memastikan cakupan area yang cukup untuk stimulasi. Menggunakan elektroda yang lebih besar akan meminimalkan ketidaknyamanan pasien sementara elektroda kecil yang dekat rapat meningkatkan risiko iritasi jaringan superfisial dan kemungkinan kerusakan / luka bakar kulit. Metode aplikasi bipolar (2 kutub) dapat diterima dengan sempurna, dan tidak ada perbedaan fisiologis dalam hasil pengobatan meskipun beberapa cerita anekdot bertentangan. Bukti penelitian terbaru mendukung manfaat 2 aplikasi tiang (misalnya Ozcan et al 2004). Waktu pengobatan sangat bervariasi sesuai dengan parameter klinis biasa dari kondisi akut / kronis & jenis efek fisiologis yang diinginkan. Pada kondisi akut, waktu pengobatan lebih pendek 5-10 menit mungkin cukup untuk mencapai efeknya. Dalam keadaan lain, mungkin perlu untuk merangsang jaringan selama 20-30 menit. Disarankan bahwa waktu pengobatan singkat awalnya diadopsi terutama dengan kasus akut jika terjadi gejala eksaserbasi. Ini bisa berkembang jika tujuannya belum tercapai dan tidak ada efek samping yang tidak diinginkan yang telah dihasilkan. Tidak ada bukti penelitian yang mendukung pengembangan dosis pengobatan secara terus menerus untuk meningkatkan atau mempertahankan pengaruhnya. Link: Kembali ke Atas Referensi Adedoyin, RA, dkk. (2002). "Pengaruh stimulasi arus interferensial dalam penanganan nyeri lutut osteo-rematik." Fisioterapi 88 (8): 493-9. Almeida, TF, dkk. (2003). "Efek terapi gabungan (ultrasound dan interferential current) terhadap rasa sakit dan tidur pada fibromyalgia." Nyeri 104 (3): 665-72. Alves-Guerreiro, J.et al. (2001). "Efek dari tiga modal elektroterapi pada konduksi saraf perifer dan ambang nyeri mekanis." Fisiologi Klinis 21 (6): 704-711. Atamaz, FC et al. (2012). "Perbandingan efikasi stimulasi saraf elektrik transkutaneous, arus interferensial, dan diathermy gelombang pendek pada osteoartritis lutut: studi double-blind, randomized, controlled, multicenter." Arch Phys Med Rehabil 93 (5): 748-756. Beatti, A. et al (2010). "Efek analgesik terapi interferensial pada nyeri akibat klinis dan eksperimental." Ulasan Terapi Fisik 15: 243-252. Bellew, JW, Z. Beiswanger, dkk. (2012). "Aliran berdenyut biphasic interferensi dan burst-modulated menghasilkan kekuatan otot yang lebih besar daripada arus Rusia." Teori dan Praktik Fisioterapi 28 (5): 384-390. Bircan, C. et al. (2002). "Khasiat dua bentuk rangsangan listrik dalam meningkatkan kekuatan paha depan: uji coba terkontrol secara acak." Rehabilitasi Klinik 16 (2): 194-9. Chase, J., dkk. (2005). "Pilot study menggunakan stimulasi listrik transkutan (interferential current) untuk mengobati konstipasi resisten pengobatan kronis dan mengotori pada anak-anak." J Gastroenterol Hepatol 20 (7): 1054-61. Christie, AD dan GL Willoughby (1990). "Efek terapi interferensiatif pada pembengkakan berikut pengurangan terbuka dan fiksasi internal fraktur pergelangan kaki." Teori Fisioterapi dan Praktik 6: 3-7. Fuentes, JP dkk (2010). "Efektivitas Terapi Interferensi saat ini dalam Pengelolaan Nyeri Ototoskeletal: Suatu Tinjauan Sistematis dan Analisis Meta." Fis Ther 90 (9): 1219-1238. Fuentes, CJ dkk (2010). "Apakah frekuensi modulasi amplitudo berperan dalam respons hipoalgesik arus interferensial pada sensitivitas nyeri tekan pada subyek sehat? Studi crossover acak" Fisioterapi 96 (1): 22-29. Fuentes, JP et al. (2010). "Efektivitas Terapi Interferensi saat ini dalam Pengelolaan Nyeri Ototoskeletal: Suatu Tinjauan Sistematis dan Analisis Meta." Fis Ther 90 (9): 1219-1238. Ganne, J.-M. (1988). "Stimulasi penyembuhan tulang dengan terapi interferensial." Australian Journal of Fisioterapi 34 (1): 9-20. Gundog, M. et al. (2012). "Terapi interferensi saat ini pada pasien dengan osteoarthritis lutut: perbandingan keefektifan frekuensi modulasi amplitudo yang berbeda." Am J Phys Med Rehabil 91 (2): 107-113. Hou, CRet al. (2002). "Efek langsung dari berbagai modalitas terapi fisik pada nyeri myofascial serviks dan sensitivitas titik-pemicu." Arch Phys Med Rehabil 83 (10): 1406-14. Hurley, DA, dkk. (2001). "Teknik penempatan elektroda terapi interferensial pada nyeri punggung bawah yang akut: penyelidikan pendahuluan." Rehabilitasi Med Phys Med 82 (4): 485-93. Hurley, DA dkk. (2004). "Uji coba klinis secara acak tentang terapi manipulatif dan terapi interferensial untuk nyeri punggung bawah akut." Tulang punggung 29 (20): 2207-16. Jarit, GJ dkk. (2003). "Efek terapi inferensi rumah pada nyeri post operatif, edema, dan rentang gerak lutut." Clin J Sport Med 13 (1): 16-20. Jenson, MG (2002). "Meninjau pendekatan untuk memicu dekompresi titik." Asisten Dokter 26 (12): 37-41. Johnson, MI dan G. Tabasam (2003). "Investigasi efek analgesik dari frekuensi yang berbeda dari gelombang modulasi arus interferensiens amplitudo amplitudo pada nyeri akibat induksi pada subyek normal." Arch Phys Med Rehabil 84 (9): 1387-94. Johnson, MI dan G. Tabasam (2003). "Investigasi buta tunggal terhadap efek hipoalgesik dari pola ayunan yang berbeda dari arus interferensial pada nyeri yang disebabkan oleh angin pada sukarelawan sehat." Arch Phys Med Rehabil 84 (3): 350-7. Jorge, S. et al. (2006). "Terapi interferensial menghasilkan antinociception selama penerapan berbagai model nyeri inflamasi." Fisik Ther 86 (6): 800-8. Lambert, I. dkk. (2000). "Mesin terapi interferensial mungkin untuk infeksi silang." Jurnal Infeksi Rumah Sakit 44: 59-64. McManus, FJ dkk. (2006). "Efek analgesik dari terapi interferensial pada dua model nyeri eksperimental: nyeri dingin dan mekanis." Fisioterapi 92 (2): 95-102. Montes-Molina, R. et al. (2009). "Khasiat terapi laser tingkat rendah interferensial menggunakan dua sumber independen dalam pengobatan nyeri lutut." Photomed Laser Surg 27 (3): 467-71. Noble, JG dkk. (2000). "Efek terapi interferensial terhadap aliran darah kutaneous pada manusia." Clin Physiol 20 (1): 2-7. Ozcan, J. et al. (2004). "Perbandingan arus interferensi yang benar dan yang premodulasi." Arch Phys Med Rehabil 85 (3): 409-15. Palmer, ST et al. (2004). "Efek stimulasi listrik pada ambang persepsi termal serat C dan A delta fiber." Arch Phys Med Rehabil 85 : 119-128. Parkkinen, A., dkk. (2004). "Fisioterapi untuk inkontinensia urin stres wanita: terapi individual di klinik rawat jalan versus latihan dasar panggul berbasis rumah: studi follow-up 5 tahun." Neurourol Urodyn 23 (7): 643-8. Petrofsky, J. et al. (2009). "Pengalihan arus melalui kulit dan otot selama rangsangan listrik dengan bentuk gelombang sinus, persegi, Rusia dan interferensial." J Med Eng Technol 33 (2): 170-81. Philipp, A., dkk. (2000). "Interferential current efektif di palmar psoriaris: sebuah percobaan prospektif terbuka." Eur J Dermatol 10 (3): 195-8. Paus, GD dkk. (1995). "Sebuah survei tentang modalitas electrotherapeutic: kepemilikan dan penggunaan di NHS di Inggris." Fisioterapi 81 (2): 82-91. Queralto, M. et al. (2013). "Terapi interferensial: pengobatan baru untuk konstipasi transit lambat. Sebuah studi percontohan pada orang dewasa." Colorectal Dis 15 (1): e35-39. Raimundo, AKS, dkk. (2004). "Studi perbandingan efek analgesik antara frekuensi arus interferensial pada fibromyalgia [bahasa Portugis]." Fisioterapia em Movimento 17 (4): 65-72. Rocha, CS et al. (2012). "Efek terapi interferensial pada ambang nyeri mekanis dan torsi isometrik setelah induksi nyeri onset otot onset tertunda pada paha belakang manusia." J Sports Sci 30 (8): 733-742. Roche, P. et al. (2002). "Modifikasi nyeri iskemik yang diinduksi dengan elektroterapi plasebo." Teori dan Praktik Fisioterapi 18 : 131-139. Shah, S. dan A. Farrow (2012). "Tren ketersediaan dan penggunaan agen elektrofisika dalam praktik fisioterapi dari tahun 1990 sampai 2010: sebuah tinjauan." Tinjauan Terapi Fisik 17 (4): 207-226. Shanahan, C. et al. (2006). "Perbandingan efikasi analgesik terapi interferensial dan stimulasi saraf elektrik transkutan." Fisioterapi. 92 (4): 247-53. Sontag, W. (2000). "Modulasi produksi sitokin dengan arus interferensial pada sel HL-60 yang terdiferensiasi." Bioelectromagnetik 21 (3): 238-44. Stephenson, R. dan E. Walker (2003). "Efek analgesik arus interferensial (IF) pada nyeri tekan dingin pada subyek sehat: percobaan buta tunggal terhadap tiga arus IF melawan IF dan kontrol palsu." Teori dan Praktik Fisioterapi 19 : 99-107. Tabasam, G. dan MI Johnson (2006). "Penggunaan terapi interferensi untuk manajemen nyeri oleh fisioterapis ... termasuk komentar oleh Poitras S." Jurnal Terapi dan Rehabilitasi Internasional 13 (8): 357-64. Walker, UA et al. (2006). "Analgesik dan penyakit memodifikasi efek arus interferensial pada arthritis psoriatis." Rheumatol Int: 1-4. Ward, AR (2009). "Rangsangan listrik menggunakan arus bolak-balik kilohertz." Phys Ther 89 (2): 181-190. Ward, AR dan WG Oliver (2007). "Perbandingan kemanjuran hypoalgesik arus frekuensi kilohertz frekuensi rendah dan burst-modulated." Fisik 87 (8): 1056-63. Ward, AR et al. (2002). "Frekuensi optimal untuk stimulasi listrik menggunakan arus bolak frekuensi menengah." Arch Phys Med Rehabil 83 (7): 1024-7. Watson, T. (2000). "Peran elektroterapi dalam praktik fisioterapi kontemporer." Man Ther 5 (3): 132-41. Yik, YI et al. (2012). "Rumah stimulasi listrik transkutan untuk mengobati anak-anak dengan konstipasi lambat-transit." J Pediatr Surg 47 (6): 1285-1290. Link: Kembali ke Atas Kontraindikasi Interferensial Pasien yang tidak memahami petunjuk fisioterapis atau tidak dapat bekerja sama sebaiknya tidak diobati Pasien dengan alat pacu jantung - beberapa alat pacu jantung relatif kebal terhadap gangguan dari rangsangan listrik sementara yang lain dapat menunjukkan perilaku buruk yang serius. Disarankan bahwa sebagai aturan umum, jika pasien memiliki alat pacu jantung, yang terbaik adalah menghindari semua rangsangan listrik, tapi seperti TENS, jika itu adalah perawatan yang diperlukan. Rangsangan harus diadili dalam lingkungan yang terkendali dengan hati-hati di mana peralatan yang sesuai tersedia untuk memperbaiki masalah mondar-mandir apa pun yang harus timbul. Pasien yang memakai terapi antikoagulan atau memiliki riwayat emboli paru atau deep vein thrombosis sebaiknya tidak diobati dengan aplikasi elektroda vakum. Begitu pula pasien yang kulitnya mudah rusak atau lebam Aplikasi di atas: Batang atau panggul selama kehamilan (meski MUNGKIN ini dimodifikasi sesuai dengan saran TENS. Saat ini, disarankan sebaiknya dihindari di daerah ini) Keganasan yang aktif atau dicurigai kecuali perawatan di rumah sakit / paliatif / terminal Mata Aspek anterior leher Sinus karotis Kondisi dermatologis misalnya dermatitis, kulit pecah Bahaya perdarahan atau pendarahan jaringan saat ini (misalnya luka jaringan lunak baru-baru ini) Hindari daerah epifisis aktif pada anak-anak Aplikasi elektroda transthoracic dianggap 'berisiko' oleh banyak pihak Interferential Precautions Perhatian harus diberikan untuk menjaga hisap pada tingkat di bawah yang menyebabkan kerusakan / ketidaknyamanan pada pasien Jika ada sensasi kulit yang tidak normal, elektroda harus diposisikan di tempat selain area ini untuk memastikan stimulasi yang efektif Pasien yang memiliki (tanda) sirkulasi abnormal Bagi pasien yang memiliki kondisi demam, hasil pengobatan pertama harus dipantau Pasien yang menderita epilepsi, kondisi kardiovaskular lanjut atau aritmia jantung harus diobati dengan pertimbangan fisioterapis dengan berkonsultasi dengan praktisi medis yang tepat. Pengobatan yang melibatkan penempatan elektroda di dinding anterior dada Catatan Pengobatan Interferensial Nomor elektroda (2 kutub, 4 kutub) dan posisi Frekuensi diterapkan Pengaturan sapuan yang digunakan (jika ada) Intensitas saat ini diterapkan (atau pasien melaporkan sensasi) Durasi pengobatan Bagaimana dengan Link: Kembali ke Atas Sumber daya Kursus Kursus Berbagai Program Elektroterapi dikirim ke seluruh Inggris, Eropa dan seluruh dunia dengan berbagai konten, tujuan dan durasi. Buku Buku Buku terbaru tentang Elektroterapi dengan deskripsi singkat dan tautan ke halaman Amazon untuk pembelian. Tanya Jawab: Prof. Tim Watson Tanya Jawab: Prof. Tim Watson Beberapa jawaban umum untuk pertanyaan yang paling sering diajukan tentang Elektroterapi, terutama di bidang Kontraindikasi. Rumah Modalitas Kursus & acara Publikasi Kontraindikasi FAQs Book Tautan Kontak Sponsor indiba rumah Terhubung-in kericau © Prof. Tim Watson 1995-2017 Teks asli Inggris Patients who have epilepsy, advanced cardiovascular conditions or cardiac arrhythmias should be treated at the discretion of the physiotherapist in consultation with the appropriate medical practitioner Sarankan terjemahan yang lebih baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar